batampos – Pakai pompa oli untuk roasting kopi, tak ada hand mixer, lidi bambupun jadi. Dunia perkopian di Jayapura terus tumbuh. Setiap sudut kota di Jayapura berjejer café maupun warung yang menyiapkan menu kopi. Persaingan cita rasa dan konsep kedai juga mengikuti. Iwan Raus dari Kahiyang Cafe Ubud, Bali dan Charles Toto dari Papua Jungle Chef punya kiat.
Tak dipungkiri jika dunia perkopian di Kota Jayapura terus berkembang. Kemana – mana jika berkeliling mulai dari Waena Distrik Heram, Angkasa Distrik Jayapura Utara hingga Koya Distrik Muara Tami bermunculan berbagai café maupun kedai kopi. Kondisi ini mulai terjadi dua tahun belakangan dimana selain café yang menggunakan ruko banyak juga yang mulai mendekati konsumen dengan cara memanfaatkan mobil pickup atau kendaraan roda empat lainnya.
Hanya saja dari bedah kopi dan oprek dapur ini terungkap bahwa untuk membuat kopi nikmat tidak melulu harus menggunakan alat yang canggih maupun alat yang mahal. Dengan alat sederhana, kopi nikmat juga bisa tetap tersaji. Ini dibuktikan Iwan Raus dan Charles Toto (Chato) yang memanfaatkan barang – barang limbah menjadi alat untuk meroasting maupun mengocok bahan – bahan yang digunakan untuk menyeduh kopi.
Baca juga:Tarian Wesisi dan Perang-perangan Primadona Wisman
Yang dipakai oleh Iwan dan Chato adalah menggunakan barang bekas seperti botol pompa oli, kaleng biscuit, lidi bambu maupun kaleng thiner termasuk kawat besi. Untuk tabung pompa oli ini digunakan untuk meroasting atau memanggang biji kopi. Lalu untuk kompor yang digunakan untuk memanaskan air ternyata tak perlu menggunakan ketel atau teko listrik tetapi bisa menggunakan sekam padi atau ampas gergaji sebagai bahan bakar. Bahkan kata Chato proses memasak menggunakan api dari kompor kaleng ini jauh lebih cepat dan panasnya bisa tetap dijaga dibanding menggunakan ketel listrik.
Iwan Raus sendiri dalam acara Ngoprek dan Bedah Kopi ini menggunakan tabung pompa oli yang dibeli di pengepul barang bekas, besi tua atau bestu. Setelah dibersihkan, tabung berukuran 2 Kg ini kemudian dipotong di bagian atasnya dan dibuatkan penutup. Tabung Oli ini dipilih karena memiliki material dan ketebalan yang cukup sehingga mampu menyimpan panas dengan baik sehingga proses. Setelah dibuatkan penutup, tabung oli tersebut dibuatkan as dari besi agar bisa diputar di atas api nantinya.
“Untuk tabung olinya tadi dibeli seharga Rp 10 ribu kemudian tadi juga beli mata gurinda untuk memotong tabungseharga Rp 15 ribu dan beberapa barang kecil lainnya tapi semua tidak sampai Rp 50 ribu,” ujar Iwan Raus. Proses ini sama seperti yang dibuat oleh Chato yang menggunakan potongan kaleng kemudian memasukkan kopi untuk kemudian dipanggang di atas api yang diperoleh dari kompor kaleng juga. Kompor kaleng ini sebelumnya diisi ampas gergaji kemudian dipadatkan menggunakan botol.
Menurut Chato kalau hanya untuk memasak air maka cukup dengan kompor kaleng tersebut. “Apinya panas sekali bahkan disarankan jangan pakai panci biasa sebab bisa saja bolong,” jelas Chato saat mendampingi Iwan Raus melakukan bedah kopi di Pondok Konservasi Komunitas di Sekretariat Rumah Bakau Jayapura, Sabtu (30/7). Disini Chato juga meracik biji kopi yang telah dipanggang untuk dibuatkan teh termasuk membuat teh dari berbagai campuran bunga.
“Kami pikir banyak potensi alam yang bisa digunakan namun belum dicoba. Lalu kalau mau buat usaha kedai kopi jangan berfikir semua harus menggunakan anggaran yang besar dan alat yang mewah, sebab kami sudah mencoba. Lebih banyak memanfaatkan barang – barang bekas dan dibuat sendiri. Selain itu banyak produk olahan yang bisa diolah tanpa harus membeli,” bebernya. Sisa (serbuk kopi) juga bisa digunakan untuk hal lain. Bisa dikeringkan kemudian dibakar untuk mengusir nyamuk, bisa untuk mengkilapkan lantai, menghilangkan bau tak sedap termasuk bisa untuk scrub.
“Ini sudah kami coba juga,” kata Chato. Sementara Iwan Raus mencoba meracik kopi yang diroasting dari tabung pompa oli. Hasilnya? tidak mengecewakan. “Kopi tak pernah salah, yang membedakan hanya lidah kita,” kata Iwan dalam diskusinya. Iwan sendiri menganggap kopi adalah sarana komunikasi yang bisa menjadi alat untuk membangun personality dengan sesama pengunjung kedai. Pria yang sempat tinggal di Biak ini dalam sehari bisa meminum dua liter kopi bahkan sanking cintanya dengan kopi, Iwan mengaku setiap pagi harus memulai dengan meminum kopi.
“Jadi sekali lagi kopi tak pernah salah. Dan soal kopi yang nikmat itu kembali ke pilihan. Kalau saya kopi yang berbekas dalam ingatan adalah kopi pertama yang saya minum, yang saya sembunyi – sembunyi meminum kopi punya ayah saya,” ceritanya. Iwan juga menyarankan bila meroasting kopi sebisa mungkin kopinya diajak ngobrol. Mungkin terlihat aneh tapi ini dianggap manjur guna mengetahui sejauh mana kopi itu akan mengeluarkan rasa. Iwan bahkan sempat menggunakan tusukan sate sebagai pengganti hand mixer. Ia mengocok dua kuning telur hingga mengembang sebagai bahan pengganti susu kemudian di bagian atasnya diberi bubuk kayu manis.
Racikan ini setelah dicoba ternyata sama sekali tidak tercium bau amis telur melainkan melahirkan varian baru yang lebih seru. Iwan juga tak menolak ketika diminta membuatkan Vietnam drip dari biji kopi hasil roastingnya. Bahkan ketika dicoba ternyata rasanya lebih ringan.
“Sambil diputar diajak ngomong saja jadi kita bisa memahami seperti apa kopinya saat jadi nanti,” ceritanya. Baik Iwan dan Chato sepakat bahwa tidak harus selalu memiliki peralatan yang mahal yang seperti mengharuskan membeli di toko, menggunakan mesin khusus dan lainnya sebab kata Iwan Raus manusia diberi kecerdasan untuk mengolah dan bukan robot yang diatur oleh mesin apalagi akan lebih nikmat apabila citarasa diperoleh dari olahan tangan sendiri.
“Tidak perlu didoktrin beli alat ini dari toko itu. Kalau bahasa saya adalah jangan mau menjadi budak industry. Tidak perlu alat tindis – tindis yang akhirnya kita seperti robot. Manfaatkan saja kecerdasan lokal dan kreatifitas yang dimiliki. Jadi anak Papua dengan style sendiri saja, tidak usah ikut – ikut aplagi sampai jadi budak industry,” sindirnya. Tak hanya itu, Iwan yang sudah berkeliling sejumlah titik di Papua juga menyampaikan bahwa terkadang rasa kopi memang tidak sama. Tapi meski tidak sama bukan berarti ada yang kemudian dipertanyakan apalagi dipersalahkan sebab semua kembali ke proses pengolahan.
“Kopi ya begitu, kadang rasanya bisa lahir dengan sendirinya. Jadi kalau mau kopi dengan rasa yang sama setiap hari ya beli saja itu kopo sachet,” imbuhnya. Iwan juga menjelaskan bahwa jangan terpaku dengan sosok yang katanya jago kopi apalagi kopi tersebut dari luar negeri. Disini Iwan yang juga memiliki peralatan kopi modern menyampaikan bahwa Indonesia adalah surganya kopi dan orang dari luarlah yang harus belajar ke Indonesia.
“Terkadang kita melihat ada orang luar negeri bicara soal kopi itu dalam sekali. Saya mau katakan bahwa di tempat mereka kopinya tidak sebaik kopi Indonesia, hanya mereka suka mencatat dan membukukan. Lalu setelah paham kemudian mereka menganggap itu ilmu dan diceritakan ke yang lain seolah – olah pakar kopi padahal di negaranya belum tentu ada kopi. Jadi anak – anak negerilah yang harus bangga dan menjadi pakar kopi,” tutupnya. (*)
Reporter: JP Group