Kamis, 28 November 2024

Tren Sajikan Olahan Makanan & Minuman dari Kebun Sendiri

Berita Terkait

8 Kebiasaan Buruk Pemicu Penuaan Dini

Rina Tiarwati mengangkat segelas es lemon telang saat ditemui di Pekarangan Rinati pada Jumat (8/9). (M ALI/JAWA POS)

batampos – Menyajikan olahan makanan dan minuman dari hasil berkebun sendiri di halaman rumah menjadi tren di kota-kota.

Masyarakat modern yang terpapar derasnya arus informasi melahirkan beragam gerakan dan inisiatif untuk meningkatkan kualitas hidup. Konsep farm-to-table salah satunya. Di kota besar, konsep tersebut bahkan bisa dikemas secara komersial.

Pekarangan Rinati lahir dari gagasan Rina Tiarawaty. Tidak serta-merta, melainkan bertahap. Sebelum menjadi resto dan kebun seperti sekarang, area seluas 1.000 meter persegi itu adalah kebun. ”Awalnya cuma dipakai berkebun. Capek, istirahat di sini. Lalu, kepikiran untuk bikin sesuatu yang berguna,” ujar perempuan 48 tahun itu saat ditemui di Pekarangan Rinati, Tangerang, pada Jumat (8/9).

Rina yang menjadikan berkebun sebagai hobi di sela kemoterapi kanker yang dia jalani mengusung konsep farm-to-table. Sebab, memang dia lebih dulu punya kebunnya (farm) dan tertantang untuk menyajikannya ke atas meja (table). Pada November 2017, dia resmi merambah bisnis kuliner dengan nama Pekarangan Rinati.

Baca Juga:Senam Nakasimo Bantu Usia Lanjut Tetap Sehat

Awalnya, resto dan kebun yang berdiri di pekarangan keluarga itu menggunakan metode garden beds. Sekitar lima tahun lalu, metode tersebut memang sedang hit. Sayangnya, metode yang menjadi bagian penting dari konsep farm-to-table itu tidak bertahan lama gara-gara rayap. ”Padahal udah cakep tuh pakai kayu-kayu ala Pinterest banget kan waktu itu,” kenangnya.

Karena konsep bisnis yang diusung mengharuskan pengelola resto punya kebun sendiri sebagai pemasok utama kebutuhan dapur rumah makan, Rina menjajal metode tanam yang lain. Dia dan sang suami, Budi Indratama, lantas berkenalan dengan metode permaculture yang digeluti eco sociopreneurship Bandung Permaculture.

Metode itu lantas Rina dan Budi terapkan pada 2019. Permaculture mengantarkan Rina dan Budi pada tanaman perennial atau tanaman menahun. Dengan demikian, mereka tidak perlu terus-terusan mengulang metode penanaman mulai dari benih.

Sebelumnya, mereka hanya membudidayakan tanaman annual atau semusim seperti caisim, bayam, dan pakcoy. ”Awalnya menyenangkan, tapi 2–3 siklus mulai berasa capeknya karena harus mulai lagi dari awal. Atau, penyakitnya kalau udah gede males panen. Sayang,” terang Rina, lalu tertawa.

Alasan lain yang membuat dia mengubah komposisi kebunnya ke tanaman perennial hingga sekitar 90 persen adalah penggunaan pupuk dan bahan kimia lainnya. Karena menahun, pemakaian pupuk dan bahan kimia lainnya lebih sedikit ketimbang budi daya tanaman annual. Selain itu, tanah tak perlu sering-sering digali untuk ganti jenis tanaman.

”Dari sisi lingkungan, pasti lebih hijau. Karena ada kolaborasi pohon besar, ada pohon rambat yang bisa digunakan. Misal, rambutan dengan cincau. Jadi nggak monokultur, simbiosisnya jalan,” papar Rina.

Lalu, bagaimana dengan menu masakannya? Memanfaatkan hasil kebun, Rina punya beberapa menu khas. Di antaranya, es lemon telang, tumis daun pepaya jepang, sayur bening dan urap daun mangkokan, lodeh jantung pisang, dan ikan serta ayam asap dari pembakaran kayu pohon rambutan.

Sajian Pekarangan Rinati memang njawani. Ada mangut, lodeh, oseng (tumis) mercon, sampai garang asem. Rina mengaku tak sengaja mengusung konsep masakan Jawa tersebut karena awalnya Pekarangan Rinati menyajikan healthy food. Namun, ternyata menu sehari-hari justru lebih diminati. Dia pun menjadikan resep andalan keluarga sebagai sajian khas.

Tak tanggung-tanggung, Rina menghadirkan sang ibu sebagai chef utama Pekarangan Rinati. Masakan signature-nya lodeh. ”Tapi, lama-lama bosen kayaknya. Haha… Ya udah dipercayakan ke yang lain, yang kita yakin rasanya pun sama,” ungkapnya. (*)

Reporter: jp group

Baca Juga

Update