Batampos – Plastik awalnya ditemukan sebagai solusi atas keterbatasan bahan alami. Namun, seiring waktu, material serbaguna ini berubah menjadi ancaman lingkungan terbesar abad ke-21.

Penemuan plastik bermula dari pencarian alternatif bahan alami seperti gading dan karet, dimana pada 1856, Alexander Parkes menciptakan Parkesine, bahan plastik pertama yang berasal dari selulosa. Ini dianggap sebagai plastik semi-sintetis pertama di dunia.
Seiring perkembangan zaman, pada 1907, Leo Baekeland mengembangkan plastik sintetis pertama yang tahan panas dan tidak menghantarkan listrik. Penemuannya dikenal dengan sebutan bakelite. Penemuan ini membuka jalan bagi produksi plastik secara massal.
Plastik kemudian dipandang sebagai material ajaib. Mengapa? karena murah, ringan, tahan lama, dan mudah dibentuk.
Membludaknya kebutuhan akan plastik, terjadi saat perang dunia ke-2. Dimana saat itu, pertumbuhan industri plastik berkembang pesat untuk pemenuhan karet sintetis untuk peluru. Ada juga kebutuhan untuk nilon dan akrilik yang digunakan dalam peralatan militer dan medis.
Setelahnya, produksi plastik meningkat tajam dan mulai menggantikan bahan tradisional dalam peralatan rumah tangga, kemasan, mainan, dan elektronik.
Berdasarkan Our World in Data, produksi plastik global mulai melesat dari 1,5 juta ton pada 1950 menjadi lebih dari 400 juta ton per 2020.
Namun ternyata, kebutuhan yang tinggi serta keunggulan penggunaannya yang praktis, membuat dunia membayar harga yang mahal. Plastik menjadi bumerang ketika daya tahannya justru membuatnya sulit terurai.
Mari melihat fakta penting ini:
– Sebanyak 80 persen sampah laut berasal dari plastik, termasuk kantong, botol, dan jaring ikan.
– Plastik sekali pakai hanya digunakan beberapa menit, tetapi dapat bertahan di lingkungan selama ratusan tahun.
– Mikroplastik kini ditemukan di air minum, tanah, udara, bahkan dalam tubuh manusia.
Penelitian dari UNEP (United Nations Environment Programme) menyebutkan, jika tidak dikendalikan, jumlah sampah plastik di laut bisa melebihi jumlah ikan pada 2050 mendatang.
Lantas apa upaya global dalam mengatasi bencana plastik ini?
- Kebijakan Pemerintah. Banyak negara kini sudah mulai melarang plastik sekali pakai dan menggalakkan daur ulang.
- Inovasi Ramah Lingkungan, dengan munculnya plastik biodegradable, kemasan dari bahan organik, dan pengembangan teknologi daur ulang kimia.
- Kesadaran Konsumen dalam mendukung gerakan zero waste dan penggunaan tas/kotak daur ulang mulai diterapkan secara luas.
Namun, tantangan tetap besar, karena baru sekitar 9 persen plastik yang berhasil didaur ulang secara global. Hal ini sesuai dengan hasil liputan National Geographic di 2018 lalu. (*)
Reporter: CHAHAYA SIMANJUNTAK
